Monolog : MENJADI PRIBADI YANG BARU

Ayudia Kirana
6 min readApr 24, 2022
source: pinterest

Perkenalkan, Aku yang mungkin sama seperti kalian, merupakan anak Millenial dalam umur produktif. Sewaktu aku masih kecil rasanya ingin cepat masuk ke dunia dewasa yang menurutku asyik dan keren. Ternyata tidak juga. Semakin hari semakin linear dengan perkembangan zaman, media sosial dan dunia digital rasanya hidup ini jauh dari kata puas. Aku seperti dikejar-kejar dengan ambisi akibat melihat “suksesnya” seseorang di media sosial.

Masuk ke fase selanjutnya dalam hidup, yaitu dunia kerja. Dunia kerja itu beda dengan bangku perkuliahan yang ada garis akhirnya, lulus dalam waktu 3 tahun 2 bulan merupakan prestasi, sedangkan lulus 7 tahun pasti dinamakan mahasiswa cuci gudang. Tapi, dalam dunia kerja ga ada tuh yang namanya garis akhir. You can resign anytime, and you also can stay in the company as long as you want.

Di kota yang penuh hingar bingar dengan perhiasaanya dan tidak pernah tidur, ya betul di Jakarta, aku mulai meniti karir dari 0. Penuh harapan dan keyakinan kalau menjadi kaya adalah solusi untuk bahagia. Karena kata orang punya banyak uang itu bisa menjadi solusi dalam menyelesaikan setiap masalah. Di kota ini, hidup aku sebagai executive muda dimulai. “Oh, gini ya rasanya jadi kaum eksmud. Pergi pagi pulang pagi?”Alih-alih mengeluh, aku beranggapan itu adalah pengorbanan yang harus kulakukan selama masih muda daripada menjadi young, dumb and broke seperti judul lagu, maka aku bertekad untuk menjadi young, passionate and thriving.

Selepas punya uang sendiri, mulai deh bebas menggunakan uang “Boleh spend on the things you want, but don’t forget to save money ya” otakku mengingatkan. Muncul bisikan selanjutnya, “Aku harus semakin cantik!”. Maka disini aku mulai melakukan treatment ini-itu di dokter kecantikan supaya semakin fit in dengan gaya anak jaman now di Instagram. Diikuti bisikan lainnya, “Bisa dong sekarang beli tas LV?” Ya, dengan dalih sebagai self-reward, barang branded yang dulu hanya bisa ku lihat baik di majalah semasa kecil, atau di mall sudah bisa aku beli sendiri. Aku senang tapi masih ada rasa kosong yang belum terisi.

Entah mengapa tiap hari rasanya semakin larut dan larut saja. Larut dalam pekerjaan yang tidak terlihat ujungnya, pulang larut malam selepas kerja, larut dengan keinginan yang tak berujung, hingga larut dalam mengejar suatu hal yang rasanya tidak ada habisnya. Dulu awal kerja, aku selalu melihat jika sudah ada di posisi managerial tertentu, maka aku yakin akan semakin bahagia karena gaji yang jauh di atas rata-rata diikuti dengan exposure kerja yang luas, ya benar-benar cerminan dari wanita independent menurut aku. Tapi, setelah menduduki posisi tersebut rasanya hati ini masih ada yang kurang, pokoknya kurang. Tidak sesuai prediksi aku di awal, saat masih menjadi newbie di tempat ini.

“Apa karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga personal life aku terganggu?”. Aku langsung menyangkal. Tidak, tidak sama sekali. Rasanya hampir sempurna. Sepanjang perjalanan karirku, selalu ada suami yang setia mendukungku dalam suka dan duka. Aku pun mempunyai 2 anak yang lucu dan menggemaskan. Kalau kata orang, kami adalah keluarga idaman, diumur yang masih muda aku sudah mempunyai karir yang jelas, suami yang merupakan dokter residen obgyn dan sepasang anak kembar. Tapi kenapa aku kerap merasa ada yang tidak lengkap di hidup ini?

Sampai suatu waktu, suamiku menyadari kegelisahan batin yang kualami tentang adanya ruang di jiwa yang rasanya tidak pernah bisa terpuaskan. Baginya, aku terlalu serius dalam bekerja sehingga mungkin kurang memupuk jiwa spiritualku, ya intinya kadar keimananku rendah. Sehingga, kami akhirnya memutuskan untuk menjalani ibadah umroh. Dengan ekspektasi, di rumah Allah aku akan lebih tenang sehingga lebih khusyuk dalam beribadah dan bisa menemukan jawaban atas kegusaran hatiku tentang ruang kosong di dalam jiwa yang tidak kunjung penuh. Betul kata suamiku, sholat di tanah suci rasanya beda daripada sholat di rumah. Pikiranku terang, hatiku tenang dan tidak henti-hentinya aku memuji ke esaan Allah di rumah-Nya. Semuanya luar biasa. Tapi, sekembalinya aku ke Jakarta dan menjalani aktivitas sehari-hari kenapa semua terasa sama lagi?

Tidak lama setelah itu pandemi Covid-19 melanda, rasanya mood tidak semakin baik. Suami yang berprofesi sebagai dokter menjadi tantangan tersendiri untukku apalagi kondisi tidak kondusif pada saat pandemi ini. Ada satu tugas tambahan untukku pada saat pandemi ini, dulu suamiku selalu makan siang dari catering rumah sakit namun sekarang aku memilih untuk membawakan bekal untuk suamiku supaya lebih terjamin kebersihan makanannya.

Hari itu aku bangun siang karena mau menghabiskan jatah cutiku yang masih ada 20 hari untuk tahun ini. Suamiku sudah duluan pergi ke rumah sakit untuk tindakan C-section jam 9 pagi tadi. Pukul 11 siang, aku pun mengantar makan siang untuknya ke rumah sakit. Semenjak pandemi, aku paling enggan untuk masuk ke rumah sakit karena takut terpapar sehingga aku memilih duduk menunggu di mobil sampai suamiku sendiri yang mengambil makanannya ke mobil. Tapi hari itu berbeda, karena tempat parkir penuh maka aku parkir di dekat pintu Instalasi Gawat Darurat. Sempat kesal dengan suamiku yang tidak kunjung keluar, katanya tindakan belum selesai disebabkan pasiennya ada komplikasi, baiklah aku tetap menunggu di mobil sambil memperhatikan sekitarku.

Terdengar bunyi ambulans satu dan yang lain silih berganti, bergantian parkir menurunkan pasien yang dari kondisinya terlihat sudah sangat payah dan tidak berdaya. Terlihat perawat yang menggunakan APD membantu mendorong kursi roda pasien tersebut. Ada juga keluarga pasien yang terlihat cekcok dengan petugas di depan pintu IGD. Dari penglihatanku, akivitas di IGD sangat-sangat rusuh, paramedis keluar-masuk untuk membawa pasien ataupun mendorong brankar. Benar selama ini berita di televisi, kondisi rumah sakit memang sedang segenting itu menangani pasien Covid-19.

Cukup gelisah, apakah aku mau menunggu di mobil atau lebih baik turun saja. Ternyata, rasa penasaranku lebih besar dari rasa takutku sehingga aku memutuskan untuk keluar saja dari mobil. Lantas aku menghampiri Pak Satpam dari tadi lalu-lalang di dekat mobilku, “Pak, itu rame-rame kenapa ya depan IGD?”, “Ya bu, mereka menunggu antrian untuk memasukan keluarganya yang covid ke IGD, tapi udah berhari-hari belum ada yang kosong.” Jelas pak satpam. Aku hanya menggangguk-angguk tanda mengerti dan kemudian memilih untuk berlalu setelah rasa penasaranku terpenuhi.

Aku mengikuti ke mana kaki ku melangkah sambil terus memperhatikan sekelilingku. Akhirnya, aku berjalan masuk ke pintu samping, dan duduk di depan area apotek. Terlihat selang satu kursi dariku, seorang perempuan yang sepertinya tidak beda jauh usianya denganku menangis tapi tidak bersuara. Bagiku tangisan yang tidak bersuara adalah tangisan yang paling sakit, karena ibarat logika meminta kita untuk kuat tapi hati tidak bisa berohong untuk mengekspresikan perasaannya. Aku pun menawarkan minuman botol yang kubawa, dia sempat menolak tapi aku memaksa. Akupun bertanya kenapa dia menangis. “Ibu saya meninggal mbak di ruang isolasi. Sendirian dan bahkan ketika dokter masuk ke ruangannya ibu saya udah ga ada. Sedih banget mbak tidak bisa menemani ibu di saat-saat terakhirnya…” Suara perempuan itu terhenti.

Seketika bulu kudukku berdiri semua. Sempat terdiam karena tidak tahu apa yang harus aku katakana, dimana jika hal yang sama terjadi padaku.. mungkin tangisanku akan jauh lebih ekstrem dari orang itu. Akhirnya aku berusaha menghiburnya dengan memberi sedikit dukungan moriil dan menaruh minuman botol tersebut di sebelah tempat duduknya. Kemudian aku memilih untuk pamit pergi karena aku yakin apapun yang kukatakan pada perempuan itu tidak bisa memberikannya semangat. Ya, aku tahu keketika seseorang pergi meghadap Tuhan tidak ada suatu keajaiban pun yang dapat mengembalikannya hidup di dunia. Sambil berjalan meninggalkan perempuan tadi, aku mulai bernapas dengan pelan. Dengan seksama merasakan detak jantungku di dada dengan ritme yang teratur sambil menghembuskan napas pelan-pelan dari hidung. Aneh rasanya, tidak pernah senikmat itu aku merasakan bernapas.

Aku memilih untuk Kembali duduk di dalam mobil setelah berkeliling tadi. Akhirnya setelah menunggu kira-kira 3 jam, suamiku muncul. Wajahnya lelah tapi terlihat senang melihatku membawakan makanan kesukaannya. Kemudian, akupun menemaninya makan siang di dalam mobil. “Mas, sepertinya aku tahu deh selama ini apa yang membuat aku merasa kurang dan ada bagian dalam jiwa ku yang kosong…”. Suamiku malah bertanya “… Apa? Kamu udah beli tas limited edition baru lagi?”. Aku tertawa dan berusaha menjelaskan. Selama ini yang kurang dalam jiwaku ternyata bukan hal-hal yang berbau materi melainkan aku kurang rasa SYUKUR pada Tuhan atas segala nikmat yang diberikan. Selama ini aku bangun setiap hari, bisa bernapas bagiku adalah hal yang sederhana karena aku menikmatinya setiap hari. Tapi ternyata, itu adalah sebuah nikmat yang mewah karena disaat Tuhan mengambilnya dariku, tidak ada yang bisa mengembalikan hidupku seperti sediakala. Selama aku mengisi diriku dengan hal-hal duniawi ternyata tidak akan pernah mencapai rasa puas tersebut.

Alhamdulillah. Ini adalah sebuah ucapan syukur yang bukan hanya dibibir saja tapi rasa syukur yang muncul dari hati. Rasanya mengucapkan “alhamdulillah” kali ini jauh lebih bermakna dari pada “alhamdulillah” yang selalu aku ucapkan ibaratnya formalitas dari penutup segala doaku. Ternyata, ‘kesempurnaan jiwa’ bukan dicapai karena mendapatkan hal-hal yang belum aku miliki, malah sebetulnya kesempurnaan datang dengan mensyukuri setiap hal dalam hidup yang terlihat sederhana tapi sebenarnya bermakna. Saat itu aku merasa seperti menjadi pribadi yang baru, yang bukan hanya menghiasi fisik dengan perhiasan dunia, tapi mencoba menghiasi jiwa dengan rasa syukur atas nikmat Tuhan.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Ayudia Kirana
Ayudia Kirana

Written by Ayudia Kirana

A work-life rhythm kind of person. I love writing, playing piano, swimming, yoga & softball. Oh yes, overall I'm pretty much unexpected.

No responses yet

Write a response